Novel
best seller yang juga telah di buatkan sekuel film-nya ini menggambarkan sosok
pemimpi bernama Ikal dan Arai, anak kampung di wilayah terpencil bernama
Belitong. Dengan mimpi lah mereka memulai hidup, dengan mimpi itu pula lah
mereka mampu melanjutkan pendidikan hingga ke Eropa. Meraih cita-cita yang
hampir mustahil didapatkan warga kurang mampu.
Tidur
tanpa mimpi, bagai sayur tanpa garam, hambar rasanya. Begitu pula hidup, jika
tidak berani bermimpi, maka hidup akan terasa datar, tanpa tantangan. Tidak
akan ada yang melarang seorang menjadi pemimpi. Tetapi apakah hanya cukup
dengan menjadi pemimpi?
Ikal
dan Arai, dua tokoh dalam novel Sang Pemimpi ini sangat tepat untuk
menggambarkan sosok Mupit Datusahlan. Anak kampung dari sebuah desa
transmigrasi bernama Kampung Labanan Makmur, di Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. Keluarganya tergolong kurang mampu, membuat kata ‘mimpi’ menjadi hal
lumrah baginya.
‘Jangan
pernah berhenti bermimpi untuk meraih cita-cita yang kita inginkan’, menjadi
motto yang terus dipegangnya hingga kini. Tak hanya bermimpi, ia buktikan hal
tersebut dengan kerja keras. Sebagai pelajar, cara yang ia rasa paling tepat,
yakni terus belajar dan menimba ilmu.
Agustus
2006, menjadi awal dari langkah Mupit untuk meraih cita-citanya. Memberanikan
diri keluar dari kampung halaman untuk menimba ilmu yang lebih tinggi dalam
upaya meraih cita-cita, ia pilih sebagai jalan hidup.
Diiringi
tangis kedua orangtua dan saudara, Mupit meyakinkan bahwa ia akan baik-baik
saja selama di Samarinda untuk menggapai cita-citanya. Jurusan Biologi di
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Mulawarman
menjadi tujuannya.
Pembuktian
bahwa ia baik-baik saja diwujudkannya dengan meraih gelar sarjana tahun 2011.
Tapi itu belum cukup untuk membuatnya kembali ke kampung halaman. Ia merasa
gelar Sarjana Science itu belum membuktikan bahwa ia patut dibanggakan kedua
orangtuanya.
Meski
belum menerima ijazah dan menunggu wisuda, Mupit mencoba keberuntungan dengan
mencari pekerjaan yang dirasa sesuai bakatnya. Berbekal ilmu dan kecakapan yang
dimilikinya, Pekerjaan itu tak sulit diperolehnya. Satu posisi pada perusahaan
swasta di bidang konsultan lingkungan segera ia dapat.
Meski
telah mendapat pekerjaan, ternyata hal itu belum membuat sosok lelaki ini
bangga. Mupit masih memiliki banyak mimpi di usianya yang relatif muda. Tak
lama, ia memutuskan untuk mengikuti pembukaan Beasiswa Kaltim Cemerlang yang
digelontorkan Pemprov Kaltim. Targetnya, kuliah pada program magister di
Malaysia.
Mimpinya
tidak terlalu muluk-muluk. Ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi
di luar negeri. Karena itu, semua peluang yang ada akan diikutinya. Berbagai
tes diikutinya, dari tes potensi akademik, psikotes, kemampuan Bahasa Inggris,
hingga wawancara.
Berani
‘mimpi’ itu bukan hanya sekadar slogan baginya. Mimpi itu dibuktikan dengan
belajar keras dan cerdas. Beasiswa Kaltim Cemerlang telah diperolehnya. Kini ia
telah 11 bulan mengikuti pendidikan program magister di Universiti Malaysia
Pahang.
“Mimpi
itu belum berakhir kawan,” ucapnya. Mengisyaratkan jika dirinya masih akan
terus berjuang hingga titel Master of Science diperolehnya. Tapi Mupit boleh
berbangga, sebab dengan berani bermimpi itulah ia kini dapat merasakan pendidikan
di luar negeri.
“Tak
mudah menggapai mimpi itu,” tambah Mupit. Banyak ujian yang harus ia lewati.
Seleksi ketat dan harus bersaing dengan ribuan orang untuk mendapatkan Beasiswa
Kaltim Cemerlang membuatnya harus mempersiapkan diri secara matang. “Saya terus
mencoba dan melakukan yang saya bisa. Memang terkadang rasa minder itu datang
karena banyak saingan,” bebernya.
PEMBUKTIAN
KEILMUAN
Dengan
background keilmuan yang dimilikinya, Mupit ingin menunjukkan bahwa dirinya
eksis. Tak hanya di Indonesia, di Malaysia pun ia berusaha agar ilmu yang
dimilikinya dapat bermanfaat dan dapat diterapkan.
Program
1 River 1 Malaysia yang digelontorkan kerajaan Malaysia, kini telah menjadi
garapannya. Mupit menjadi bagian dari tim yang menangani sungai di kawasan
Negara Bagian Pahang, Malaysia.
“Hasil
akhir dari program ini adalah menjadikan sungai-sungai di negara bagian Pahang,
Malaysia, menjadi kelas 1 sampai 2, dari kelas awal sungai yang rata-rata
termasuk kelas 3, 4, dan 5,” ungkapnya.
Target
akhirnya, yakni mendesain dan mewujudkan sungai di Pahang menjadi sungai yang
bersih dan memberikan banyak manfaat. Apalagi masyarakat Malaysia diakuinya
memiliki kepedulian yang cukup besar dalam ketersediaan air bersih dan tata
kelola lingkungan.
Mupit
mengaku cukup sedih jika membandingkan kondisi tersebut dengan fakta yang
terjadi di Indonesia secara umum, termasuk Kaltim. Ia melihat banyak sungai
yang telah tercemar oleh berbagai aktifitas industri hingga masyarakat.
Tapi Mupit mengaku tidak
akan menyerah dengan kondisi yang terjadi di Kaltim. Ia kini bermimpi segera
menyelesaikan pendidikannya di Malaysia dan kembali ke Kaltim untuk turut
berkontribusi dalam melakukan perubahan.(oleh: Mupit & ACT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar